Dalam sesi Ask the Expert kali ini, tim SwipeRx mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Ibu Yulia Trisna, Apt, M.Pharm mengenai Peningkatan Keselamatan Pasien dengan Penerapan Program Medication Safety. Beliau adalah seorang apoteker berpengalaman di bidang praktisi rumah sakit, termasuk salah satu rumah sakit pemerintah terbesar di bilangan Jakarta Pusat. Dalam wawancara ini, Ibu Yulia menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan para pengguna SwipeRx yang telah terpilih untuk sesi kali ini.
Q: “Informasi apa yang bisa kita berikan kepada pasien dengan riwayat gangguan maag yang berkaitan dengan interaksi obat-obatan yang dikonsumsi?”
Erik Siswati, Apoteker, Magelang
A: Sebelum kita dapat memberikan informasi obat yang dibutuhkan pasien, maka kita perlu menggali informasi dari pasien mengenai obat-obat apa saja yang sedang diminumnya secara detil yaitu: nama obat, dosis, waktu minum obat, sudah berapa lama mengonsumsi, apakah obat tersebut diminum rutin atau hanya sesekali, apakah diminum bersamaan waktunya. Dari informasi tersebut kita lakukan analisis apakah di antara obat-obat tersebut terjadi interaksi. Jika diketahui ada interaksi, maka perlu diketahui apakah berdampak secara bermakna pada kesehatan pasien, dapat berupa munculnya efek samping yang tidak diharapkan atau kegagalan terapi. Untuk mengetahui apakah dampak klinis sudah terjadi, maka kita perlu menanyakan kepada pasien apakah merasakan gejalanya. Jika pasien merasakan gejala yang kita curigai akibat dari interaksi obat tersebut, maka kita dapat memberikan saran yang sesuai. Untuk pasien dengan riwayat maag, maka kita perlu identifikasi apakah pasien mengonsumsi obat yang dapat membuat pH lambung menjadi lebih basa, yang dapat mengakibatkan absorpsi obat lain menurun sehingga obat lain tersebut tidak memberikan efek terapi yang diinginkan. Jika ya, maka kita sarankan untuk mengatur jarak waktu antara pemberian kedua obat tersebut 2-3 jam. Sebaliknya, perlu diidentifikasi apakah pasien mengonsumsi obat bersifat asam yang dapat melukai dinding lambung. Jika ya, maka sebaiknya dihindari menggunakan obat tersebut, atau obat tersebut diminum setelah makan (dalam kondisi lambung berisi).
Semoga informasi yang saya berikan bermanfaat.
Q: “Ass Ibu Yulia. Sesuai tema, apa saja langkah yang perlu ditempus farmasis RS yang belum melakukan program medication safety?”
Sara, Apoteker, Subang
A: Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah: pertama, mengidentifikasi risiko di setiap proses pengelolaan dan penggunaan obat yang meliputi proses seleksi, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, distribusi, peresepan, penyiapan (dispensing), pemberian (administration) dan pemantauan. Setelah kita identifikasi adanya risiko, maka kita perlu menetapkan prioritas risiko yang mana yang akan ditindaklanjuti terlebih dahulu mengingat sumber daya terbatas dalam mengelola semua risiko yang ada. Pemeringkatan risiko (risk grading) dilakukan dengan mempertimbangkan frekuensi dan dampak dari kejadian, serta kesulitan kita dalam mengendalikannya. Risiko dengan angka yang paling tinggilah yang kita prioritaskan untuk kita kendalikan. Selanjutnya kita lakukan upaya pengendalian untuk meniadakan risiko atau mengurangi risiko yang ada. Pengendalian yang dilakukan perlu dievaluasi apakah efektif atau tidak. Sebaiknya dalam mengevaluasi ditetapkan indikator keberhasilan dari upaya pengendalian yang dilakukan. Jika hasil evaluasi menunjukkan upaya tersebut belum efektif, maka kembali lagi ke tahap identifikasi risiko dan seterusnya (berupa siklus). Silakan disimak presentasi saya tentang manajemen risiko di youtube dengan link http://youtu.be/2G6rEtdE6SM
Semoga informasi yang saya berikan cukup jelas dan bermanfaat.
Q: “Ass. Ibu Yulia, apa yang dapat dilakukan seorang Apoteker dalam pemantauan terapi pasien rawat jalan? Jadi bukan hanya sekedar edukasi obat yang diserahkan pada saat itu?”
Shany Yuda, Apoteker, Makasar
A: Apakah Anda memiliki akses untuk mendapatkan informasi klinis pasien, misalnya melalui sistem informasi rumah sakit (sistem IT) dimana Anda dapat mengetahui diagnosis, hasil uji laboratorium dan semua obat yang pernah dan sedang digunakan pasien? Jika ya, maka sebaiknya gunakan fasilitas tersebut. Jika tidak, pemantauan memang tidak dapat komprehensif, namun Anda dapat mewawancarai pasien untuk dapat mengetahui apakah pasien mengalami efek samping obat, apakah pasien patuh minum obat sesuai rejimen, apakah obat yang dikonsumsi memberikan efek terapi yang diharapkan. Dari hasil wawancara tersebut Anda identifikasi apakah ada masalah terkait penggunaan obat. Selanjutnya Anda dapat memberikan saran, baik kepada dokter yang merawat pasien (sebaiknya Anda memiliki daftar nomor telepon dokter di unit rawat jalan tersebut) maupun kepada pasien untuk mengatasi masalah tersebut.
Semoga informasi yang saya berikan bermanfaat.
Q: “Ibu Yulia, edukasi apa yang dapat diberikan seorang farmasis terhadap pasien yang mendapatkan pengobatan dengan Polypharmacy? Agar dapat terwujud keberhasilan terapi?”
Nova, Apoteker, Jakarta
A: Semakin banyak jenis obat yang dikonsumsi pasien, maka semakin tinggi risiko untuk terjadinya interaksi obat dan efek samping obat. Selain itu, polifarmasi juga dapat menurunkan kepatuhan pasien minum obat. Sebagai apoteker kita perlu menilai apakah pasien memang memerlukan obat-obat tersebut. Jika Anda memiliki akses untuk mendapatkan informasi klinis pasien, maka kita dapat melakukan telaah apakah ada obat yang sebenarnya tidak diperlukan pasien, apakah pasien mengalami efek samping obat, apakah ada obat yang dapat diganti dengan obat lain yang potensi interaksi obat dan efek sampingnya lebih kecil. Jika dari hasil telaah terdapat masalah terkait obat, maka tindakan kita selanjutnya adalah mendiskusikannya dengan dokter yang merawat pasien tersebut untuk dicari solusi terbaiknya. Kepada pasien kita dapat berikan informasi mengapa obat-obat tersebut perlu diminum sesuai rejimennya, bagaimana cara menggunakan obat-obat tersebut dengan benar, apa yang harus diwaspadai pasien terhadap kemungkinan efek samping obat, apa yang harus dilakukan jika terjadi efek samping obat, atau jika efek terapi dirasakan kurang/tidak ada, atau jika terlupa minum obat, serta bagaimana cara menyimpan obat dengan benar. Jika ada masalah ketidakpatuhan pasien dalam mengikuti rejimen terapi obat, maka perlu diidentifikasi penyebabnya, sehingga dapat diupayakan untuk mengatasinya. Pada pasien yang mengonsumsi banyak obat dalam waktu lama (kronis) dapat digunakan pill-box yang memudahkan pasien sehingga diharapkan kepatuhan pasien meningkat dan hasil terapi yang diinginkan dapat terwujud.
Semoga informasi yang saya berikan bermanfaat.
Q: “Halo Ibu Yulia, apa saja sih peran Apoteker dalam Keselamatan Pengobatan (Medication Safety Pharmacist) dan apakah di Indonesia sudah ada Apoteker yang memiliki spesialisasi khusus untuk menangani medication safety?”
Rara, Apoteker, Jayapura
A: Peran Apoteker adalah memastikan pasien menggunakan obat secara tepat dan aman. Untuk mewujudkannya maka apoteker harus memastikan setiap proses pengelolaan dan penggunaan obat tidak menghalangi pasien dalam mendapatkan obat yang tepat dan aman. Tentu saja upaya ini harus dilakukan bersama-sama dengan stake holder lain karena pengelolaan dan penggunaan obat merupakan sistem yang kompleks yang bersifat multidisiplin dan lintas sektoral. Tentang upaya yang dapat dilakukan, silakan lihat jawaban saya untuk Sara, Subang.
Jika yang dimaksud dengan apoteker yang memiliki spesialisasi khusus adalah apoteker yang memiliki pendidikan formal khusus medication safety, saya kurang mengetahuinya.
Semoga informasi yang saya berikan bermanfaat.
Q: “Ibu Yulia, apa saja upaya pemerintah untuk mewujudkan pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada Medication Safety?”
Abdul, Apoteker, Padang
A: Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan perangkat lainnya pastinya sudah berupaya, misalnya membuat regulasi berupa standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, di apotek, di puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya. Agar regulasi dapat diimplementasikan dengan baik, perlu didukung dengan sumber daya dan infrastruktur yang memadai. Sebagai contoh penerapan peresepan elektonik dan penyiapan obat menggunakan automated dispensing machine di Indonesia dapat dikatakan tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga karena tidak memadainya sumber daya dan infrastruktur yang dibutuhkan. Hal ini merupakan tantangan yang harus diatasi bersama. Pemerintah juga dapat mendukung upaya peningkatan kompetensi SDM yang terlibat dalam pengelolaan dan penggunaan obat sehingga kesalahan dalam penggunaan obat yang disebabkan kurangnya kompetensi petugas dapat dikurangi. Harus dilakukan monitoring dan evaluasi secara terus menerus terhadap upaya-upaya tersebut agar dapat dilakukan tindakan perbaikan yang menghasilkan peningkatan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.
Semoga informasi yang saya berikan bermanfaat.
Q: “Ibu, Bagaimana cara mengevaluasi penerapan keselamatan pasien di rumah sakit?”
Rani, mahasiswa, Medan
A: Untuk dapat mengevaluasi penerapan keselamatan pasien, maka perlu ditetapkan indikator apa yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan suatu program keselamatan pasien. Indikator tersebut harus ditetapkan target capaiannya sehingga nanti dibandingkan apakah realisasi capaiannya sudah sesuai target atau belum. Sebagai contoh: dalam proses penyiapan obat ada risiko kesalahan dalam penyiapan (dispensing error) dimana kesalahan ini harus dicegah melalui kegiatan telaah ketepatan penyiapan obat sebelum diserahkan kepada perawat (obat untuk pasien rawat inap) atau ke pasien (obat untuk pasien rawat jalan). Untuk menilai tingkat kesalahan penyiapan obat maka ditetapkan indikator dispensing error dan target berupa angka (persentase) maksimal dispensing error. Dilakukan pengumpulan data kejadian dispensing error. Jika angkanya masih lebih tinggi dari target angka maksimalnya, berarti penerapan keselamatan pasien pada tahap penyiapan obat belum berhasil. Sebaiknya setiap proses dalam sistem pengelolaan dan penggunaan obat ditetapkan indikator sehingga dapat memandu kita dalam melakukan evaluasi dan penilaian.
Semoga penjelasan saya bermanfaat.
Q: “Bu, kalau bisa tahu apakah Ibu praktisi di RSCM? Saya pernah melihat Ibu sebagai salah satu pengisi diseminar Apoteker. Oya bu saya mau tanya, di RSCM apakah sudah menerapkan medication safety dan apakah semua RS di seluruh Indonesia sudah menerapkan hal yang sama?”
Hasanah, Apoteker, Bekasi
A: Ya, saya bekerja di RSCM. Program medication safety merupakan upaya untuk menjamin penggunaan obat yang aman, tidak ada kesalahan, sehingga pasien selamat. Berbagai upaya untuk mencegah dan meminimalkan kejadian tidak diharapkan akibat penggunaan obat sudah, sedang dan akan terus dilakukan di RSCM, apalagi dengan adanya keharusan rumah sakit lulus akreditasi maka program medication safety di RSCM lebih meningkat dan dilakukan secara lebih sistematis dan terarah. Menurut saya seluruh rumah sakit di Indonesia harus menerapkan medication safety meskipun saat ini program medication safety di berbagai rumah sakit bervariasi cakupan kegiatannya dan tingkat keberhasilannya.
Semoga informasi yang saya berikan bermanfaat.
Q: “Halo Ibu Yulia, Bu saya mau tanya apakah ada perlindungan hukum bagi pasien terhadap Apoteker yang lalai menjalankan medication safety?”
Novitasari, Apoteker, Bandung
A: Profesi kesehatan termasuk apoteker memiliki legal liability, artinya ketika berpraktik bisa saja terjadi sesuatu kesalahan yang membahayakan pasien bahkan kematian dan hal ini harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Sebagai perlindungan hukum, maka apoteker dalam bekerja juga harus mematuhi hukum, peraturan dan perundang-undangan. Apoteker dalam bekerja harus sesuai Standar Prosedur Operasional. Jika ada tuntutan hukum terhadap kelalaian apoteker, maka dalam persidangan harus dibuktikan kelalaian itu memang dilakukan.
Semoga informasi yang saya berikan bermanfaat.
Q: “Hi Ibu, ibu sebagai Apoteker di RS apa saja sasaran dari keselamatan pasien?”
Riri, mahasiswa, Palembang
A: Sasaran keselamatan pasien terkait obat di RS adalah pasien mendapatkan obat yang tepat, dengan dosis tepat, rute tepat, waktu pemberian tepat, tidak mengalami efek tidak diharapkan akibat penggunaan obat dan tercapai efek terapi yang diharapkan.
Kalau kita mengacu pada standar akreditasi rumah sakit, maka sasaran keselamatan pasien terkait obat diutamakan pada obat–obat yang memerlukan kewaspadaan tinggi (high alert), yaitu obat yang jika digunakan secara salah akan berdampak serius bahkan dapat mengakibatkan kematian. Oleh sebab itu, obat-obat high alert mendapat perlakuan khusus dalam pengelolaannya agar tidak terjadi kesalahan dalam penggunaannya.
Semoga informasi yang saya berikan bermanfaat.
Q: “Sore bu Yulia, saya ingin bertanya mengenai penjualan obat parasetamol yang dapat dengan mudah kita beli dimana saja dan kapan saja. sebagai mana kita tahu pemakaian jangka panjang parasetamol dapat memberikan efek yang buruk pada ginjal pasien. namun kadangkala pasien tidak mengetahui efek samping obat tersebut jika diberikan dalam jangka waktu lama. Menurut ibu, bagaimana penerapan medication safety pada kasus ini?”
Ware, Apoteker, NTT
A: Pasien harus diberikan edukasi mengenai cara menggunakan obat yang benar, meskipun obat tersebut merupakan obat tanpa resep dokter yang dapat dijual bebas. Pasien harus diedukasi agar selalu membaca dengan teliti informasi yang disertakan pabrik dalam kemasan obat. Jika digunakan sesuai petunjuk, maka dapat dikatakan parasetamol aman.
Semoga informasi yang saya berikan bermanfaat.
Q: “Pagi Bu Yulia, Bagaimana pendapat ibu mengenai sediaan sirup antibiotik yang sering dicampur dengan obat lainnya misalnya dengan PCT, GG, Vit. C yang sering digabung menjadi satu? Yang saya pelajari bahwa antibiotik harus dihabiskan, sedangkan obat lainnya, jika gejala sudah hilang maka terapi tidak perlu dilanjutkan. Apakah itu rasional?”
Alex, Mahasiswa, Bau Bau
A: Sedapat mungkin kita tidak mencampur banyak obat menjadi satu sediaan, karena risiko yang mungkin terjadi adalah obat tidak stabil, rusak, bahkan terjadi reaksi kimia yang dapat menghasilkan zat yang sudah hilang efek terapinya, bahkan mungkin bersifat toksik. Terlebih bila kita mengetahui bahwa obat yang satu harus dihabiskan sedangkan obat lain hanya digunakan jika timbul gejala. Kita perlu memberikan saran ke dokter untuk diberikan dalam bentuk sediaan yang terpisah. Mungkin maksud dokter adalah agar mudah dalam penggunaannya, terutama untuk pasien anak. Namun dengan menjelaskan akibat yang timbul, mudah-mudahan dokter dapat memahaminya.
Baca Juga Artikel Menarik Lainnya : Bagaimana Jika Apoteker Dilegalkan Untuk Mengganti Resep Tanpa Konfirmasi DPJP Atau Pasien
Jika Anda ingin mendapatkan pengetahuan lainnya mengenai bisnis apotek, Anda dapat mendownload aplikasi SwipeRx di play store. Selain itu, jika anda ingin mendapatkan keuntungan berbisnis dengan SwipeRx daftarkan apotek anda disini, untuk mendapatkan produk sediaan farmasi 100% original, pengiriman cepat dan harga bersaing.
Semoga penjelasan saya bermanfaat.